Selasa, 15 Januari 2008

Perkawinan beda Agama ...

Catatan ringan dari sebuah diskusi Kecil...

Perkawinan beda agama termasuk masalah rumah tangga yang banyak mengandung persoalan-persoalan sosial dan yuridis, baik ditinjau dari segi kaca mata hukum Islam maupun menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

Hal ini memang menimbulkan berbagai persoalan, masalah yang dapat saja ditimbulkan dari perkawinan beda agama tersebut. Sebab dalam aturan hukum (Undang-undang) yang berlaku, tidak mengatur secara jelas tentang prosedur pelaksanaan perkawinan antar agama. Sedang negara kita adalah negara hukum, yang secara formalistis berpegang pada aturan hukum yang ada (positif) dalam melihat suatu permasalahan. Namun dalam kenyataan yang berkembang dalam masyarakat, hal ini (perkawinan beda agama) banyak terjadi.

Apabila kita mencari sebab dari timbulnya hal seperti ini di masyarakat, apakah dengan mengadakan suatu penelitian kecil, maka kita akan menemukan berbagai macam faktor penyebab yang mereka jadikan landasan dalam melakukan perkawinan tersebut. Dalam hal ini, hal yang mendasar bukan karena mereka tidak mengetahui aturan yang ada dan yang berlaku (UU ataupun hukum dari agamanya masing-masing), namun kebanyakan disebabkan oleh rasa cinta dari keduanya dan tidak ingin dipisahkan lagi oleh siapun, apakah itu keluarga dari kedua belah pihak, bahkan oleh aturan sekalipun, yang mereka inginkan hanyalah bagaimana agar tali kasih yang telah mereka pupuk, bina dapat dilanjutkan pada jenjang perkawinan, yang mungkin telah menjadi komitmen bersama dari kedua pasangan tersebut.

Inilah mungkin salah satu kendala yang dihadapi bagi mereka yang ingin melakukan perkawinan, namun terbentur (pada aturan yang ada) yaitu oleh persoalan pada perbedaan agama yang dianut dari mereka yang akan melangsungkan perkawinan tersebut. Di mana dalam perkembangan terakhir, jalan bagi pemeluk agama Islam dalam melaksanakan perkawinan semacam ini telah ditutup sama sekali, namun kita juga tidak dapat menutup mata bahwa hal-hal seperti ini masih saja dapat kita temui di masyarakat, nah yang menjadi pertanyaan bagaimana kita menaggapi hal tersebut.

Sesuai kesepakatan dari diskusi yang berkembang, tetap kita sepakat dan tetap berlandaskan pada aturan yang ada (UU yang mengatur) bahwa tidak terdapat landasan hukum yang jelas yang mengatur tentang prosedur pelaksanaan perkawinan antara beda agama, namun di satu sisi (dalam praktek) baik yang terjadi di tengah masyarakat serta diperkuat lagi oleh ketetapan-ketetapan dari Mahkamah Agung yang kelihatan berseberangan arah dari aturan normatif yang berlaku, itu tidak dapat kita tolak.

Olehnya dapat ditarik suatu simpulan sementara dari hasil diskusi yang berkembang dengan tetap berlandaskan pada aturan yang ada serta memperhatikan pada kasus-kasus yang telah terjadi dan ketetapan-ketetapan dari MA di atas, tentang cara-cara (prosedur) pelaksanaan perkawinan antar agama yaitu :
a. Salah satu pihak beralih agama mengikuti agama suami atau isteri
b. Salah satu pihak menundukkan diri pada hukum agama suami atau isteri
c. Perkawinan hanya dilangsungkan di Kantor Catatan Sipil

Adapun komentar sementara dari penulis dalam hal ini lebih condong apabila masalah perkawinan terkhsus lagi pada perkawinan antar beda agama ini dikembalikan pada hukum agama masing-masing, sebab dari segi praktis Undang-undang perkawinan sendiri pada satu sisi mengakui eksistensi hukum agama sebagai dasar untuk menentukan keabsahan suatu perkawinan, walaupun sebagaimana yang kita ketahui terdapat agama yang melarang (sangat tegas menolak) perkawinan antara agama ini. Hal ini memang merupakan masalah “khilafiah” yang sulit diakhiri.

Read More/Selengkapnya....

Selasa, 18 Desember 2007

Mediasi Sebagai Media Penyelesaian Sengketa Perceraian

by. Muliadi Nur

Pendahuluan

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita yang diharapkan di dalamnya tercipta rasa sakinah, mawaddah dan rahmah. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan adanya saling pengertian dan saling memahami kepentingan kedua belah pihak, terutama lagi yang terkait dengan hak dan kewajiban.
Dalam kehidupan rumah tangga sering kita jumpai orang (suami isteri) mengeluh dan mengadu kepada orang lain ataupun kepada keluarganya, akibat karena tidak terpenuhinya hak yang harus diperoleh atau tidak dilaksanakannya kewajiban dari salah satu pihak, atau karena alasan lain, yang dapat berakibat timbulnya suatu perselisihan diantara keduanya (suami isteri) tersebut. Dan tidak mustahil dari perselisihan itu akan berbuntut pada putusnya ikatan perkawinan (perceraian).

Salah satu alasan atau sebab dimungkinkannya perceraian adalah syiqaq (terjadinya perselisihan/persengketaan yang berlarut-larut antara suami isteri). Namun jauh sebelumnya dalam Al-Qur’an surah an-Nisaa ayat 35, Allah swt., telah memerintahkan bahwa jika dikhawatirkan ada persengketaan antara keduanya (suami isteri), maka kirimlah seorang hakam (mediator) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam (mediator) dari keluarga perempuan. Dari ayat tersebut, dapat dipahami bahwa salah satu cara menyelesaikan perselisihan/persengketaan antara suami isteri, yaitu dengan jalan mengirim seorang hakam selaku “mediator” dari kedua belah pihak untuk membantu menyelesaikan perselisihan tersebut.

Mediasi adalah salah satu cara penyelesaian sengketa “non litigasi”, yaitu penyelesaian yang dilakukan di luar jalur pengadilan. Namun tidak selamanya proses penyelesaian sengketa secara mediasi, murni ditempuh di luar jalur pengadilan. Salah satu contohnya, yaitu pada sengketa perceraian dengan alasan, atau atas dasar syiqaq, dimana cara mediasi dalam masalah ini tidak lagi dipandang sebagai cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, tetapi ia juga merupakan bagian dari proses penyelesaian sengketa di pengadilan.

Pembahasan

Untuk mengetahui pentingnya peranan hakam (mediator) dalam ikut menyelesaikan sengketa perceraian, maka tak berlebihan kiranya apabila beberapa istilah-istilah pokok dalam makalah ini perlu penjelasan secara proporsional dan baik agar pemahaman komprehensif, utuh dan bermakna dapat diperoleh untuk kejelasan pemahaman terhadap hal-hal yang akan dibahas. Pemahaman demikian sangat signifikan adanya sebab tiap istilah dalam suatu kajian terkait erat dengan teksnya untuk kemudahan pemahaman terhadap konsep dari istilah yang digunakan, sehingga kontribusinya dapat dimanfaatkan secara jelas bagi ilmu pengetahuan dengan baik.

Mediasi (Mediation) : The process by which the participants, together with the assistance of the neutral persons, systematically isolate dispute issues in other to develop options, consider alternatives, and reach a consensual settlement that mil accommodate their needs. Mediation : is decision-making process in which the parties are assisted by a third party, the mediator; the mediator attempts to improve the process of decision-making and to assist the parties reach an outcome to which of them can assent.

Perkawinan: menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Syiqaq, berasal dari bahasa Arab “syaqqa” ~ “yasyuqqu” ~ “Syiqaaq”, yang bermakna “al-inkisaar”, pecah, berhamburan. Sedang “syiqaq” menurut istilah oleh ulama fiqhi diartikan sebagai perpecahan/perselisihan yang terjadi antara suami isteri yang telah berlarut-larut sehingga dibutuhkan perhatian khusus terhadapnya.
Sejalan dengan pengertian di atas “syiqaq” menurut penjelasan pasal 76 (1) UU No. 7/1989 adalah perselisihan yang tajam dan terus menerus antara suami isteri.

Hakam menurut penjelasan pasal 76 ayat (2) ialah orang yang ditetapkan pengadilan dari pihak keluarga suami atau pihak keluarga isteri atau pihak lain untuk mencapai upaya penyelesaian perselisihan terhadap syiqaq. Menurut Noel J. Coulson dan Morteza Mutahhari (1985 : 243), hakam dipilih dari keluarga suami dan isteri. Satu orang dari pihak keluarga suami dan satu orang dari pihak keluarga isteri, dengan persyaratan jujur dan dapat dipercaya, berpengaruh dan mengesankan, mampu bertindak sebagai juru damai serta orang yang lebih mengetahui keadaan suami isteri, sehingga suami isteri lebih terbuka mengungkapkan rahasia hati mereka masing-masing.

Kalaulah dibandingkan pengertian yang dikemukakan oleh Morteza Mutahhari dengan apa yang dirumuskan dalam penjelasan pasal 76 ayat (2), tampaknya pengertian yang dikemukakan yang dikemukakan beliau sangat dekat dengan maksud yang tertulis dalam QS. An-Nisaa : 35. Sedang apa yang dirumuskan dalam penjelasan pasal 76 ayat (2) sudah agak menyimpang.

Hakam yang dimaksudkan dalam Al-Qur’an terdiri dari dua orang yang diambil atau dipilih masing-masing satu orang dari keluarga pihak suami isteri. Sedang hakam yang dirumuskan dalam penjelasan pasal 76 ayat (2) boleh dari pihak keluarga suami saja, atau dari pihak keluarga isteri saja, bahkan diperbolehkan hakam yang terdiri dari pihak lain. Namun demikian, maksud dan tujuan pembuat undang-undang bukanlah untuk menyingkirkan ketentuan surah An-Nisaa : 35, tetapi tujuannya agar rumusan ayat itu dapat dikembangkan menampung problema yang berkembang dalam kehidupan masyarakat dalam batas-batas acuan jiwa dan semangat yang terkandung di dalamnya.

Pengangkatan Hakam

Pengangkatan hakam dalam perkara peceraian atas dasar syiqaq, ialah dilakukan pada sesudah proses pemeriksaan perkara melewati tahap pemeriksaan saksi, yaitu setelah mendengar keterangan saksi tentang sifat persengketaan, dengan kata lain Pengadilan barulah dapat mengangkat hakam setelah pemeriksaan pembuktian selesai diperiksa. Saksi-saksi dan alat-alat bukti lain yang diajukan para pihak telah selesai diperiksa.
Prosedur demikian didasarkan, bahwa Pengadilan atau hakim harus terlebih dahulu mengetahui secara seksama apa dan bagaimana perselisihan serta persengketaan suami isteri, dan faktor yang melatar belakangi perselisihan sudah dapat diraba, barulah hakim memberi bekal kepada hakam (mediator) tentang segala sesuatu yang ditemukan di persidangan untuk dijadikan bahan menjajaki usaha penyelesaian perselisihan. Dan agar hakam dapat bekerja sebaik mungkin, segala sesuatu yang terjadi di persidangan haruslah disampaikan kepadanya.

Berdasarkan ketentuan pasal 76 ayat (2), bahwa yang berwenang mengangkat hakam adalah pengadilan, yang pengangkatannya dilakukan oleh Ketua Majelis yang memeriksa perkara. Namun demikian dari segi pendekatan hukum Islam maupun dari segi pendekatan hukum acara perdata, pengusalan hakam datang dari pihak-pihak yang berperkara. Para pihak bebas memutuskan siapa yang mereka ingini menjadi hakam dari pihaknya. Akan tetapi apa yang mereka usulkan, tidak mengikat hakim. Oleh karena demikian, sebaiknya hakim menganjurkan kepada para pihak untuk mengusulkan beberapa orang, serta dalam pengusulan itu dilengkapi dengan biodata masing-masing calon.

Pendapat Hakam (Mediator) Tidak Mengikat

Pasal 76 ayat (2) UU No. 7/1989 tidak menyinggung sampai dimana kekuatan mengikat usul hakam (mediator) kepada hakim dalam menjatuhkan putusan. Barangkali hal itu sesuai dengan fungsi hakam yang tidak dibarengi dengan kewenangan apa pun. Sebagaimana yang sudah disinggung, undang-undang tidak memberikan kewenangan bagi hakam (mediator) untuk menjatuhkan putusan.

Hakam (mediator) yang diatur dalam pasal 76 ayat (2) lebih menitikberatkan kewajiban dari pada kewenangan. Hakam wajib berusaha untuk mencari upaya penyelesaian, tapi tidak berwenang memutus dan menyelesaikan sendiri perselisihan perselisihan suami isteri.

Hal ini juga sejalan dengan apa yang dikemukakan Achmad Ali bahwa mediator (hakam) yang netral tidak bertindak sebagai seorang hakim; dia tidak mempunyai otoritas untuk menjatuhkan suatu putusan. Malahan, mediator memimpin suatu pemeriksaan tatap muka dengan pihak yang bersengketa dan menggunakan keterampilan khusus tentang bagaimana mendengarkan problem para pihak, keterampilan bertanya, bernegosiasi dan membuat pilihan, membantu para pihak menentukan solusi mereka sendiri terhadap persengketaan mereka. Lanjut menurutnya, bahwa sebenarnya mediator bertindak sebagai katalisator (pembuat perubahan), keterampilan khususnya diterapkannnya pada pihak yang bersengketa dengan membantu mereka dalam menyelesaiakan perselisihan.
Namun mengenai hal ini terdapat dua pendapat, pertama, ada yang berpendapat bahwa hakam tidak mutlak mempunyai wewenang mengambil putusan. Namun pendapat yang paling umum berpendirian, bahwa hakam berwenang mengambil putusan, dan putusan yang dijatuhkan hakam, mengikat kepada suami isteri.

1. Peran Hakam Sebagai Mediator Dalam Menyelesaikan Sengketa Perceraian Dengan Alasan Syiqaq

Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa terdapat dua cara penyelesaian sengketa, yaitu penyelesaian sengketa dengan cara litigasi (lewat Pengadilan), dan penyelesaian dengan cara non litigasi, salah satu diantaranya adalah cara “Mediasi”, dimana orang yang menjalankannya biasa disebut dengan “mediator”, yang sekaligus merupakan substansi dari kajian ini.

Perbedaan mendasar dari kedua cara penyelesaian sengketa tersebut, seperti yang banyak dikenal orang ialah, bahwa cara “litigasi” yaitu cara penyelesaian sengketa secara “formal” (lewat Pengadilan) serta mempunyai prosedur serta aturan-aturan yang mesti dipenuhi. Sedangkan cara penyelesaian “non litigasi” adalah sebaliknya (tidak melalui jalur pengadilan).

Namun sebelum lebih jauh melangkah, penulis dalam tulisan ini, tidak akan melihat hanya sebatas perbedaan tersebut, dan tidak akan mengkaji atau memilah-milih, apalagi membandingkan baik sisi-sisi kelebihan ataupun kekurangan dari kedua cara penyelesaian sengketa tersebut, melainkan akan mencoba melihat peranan mediator dalam menyelesaiakan sengketa perceraian dengan alasan syiqaq. Dimana mediasi dalam kajian ini tidak lagi berdiri sendiri sebagai wadah atau cara penyelesaian sengketa yang non litigasi, melainkan ia ikut membantu menyelesaikan sengketa melalui proses litigasi, khususnya pada sengketa perceraian dengan alasan terjadinya syiqaq.

Peranan hakam selaku mediator dalam sengketa yang dimaksud, sangatlah jelas, dan dapat dilihat dari firman Allah dalam QS. An-Nisa ayat (35), bahwa apabila dikhawatirkan ada persengketaan/perselisihan antara keduanya (suami isteri), maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan untuk membantu menyelesaikannya. Dimana kata hakam dalam ayat tersebut, menurut hemat penulis tidak lain adalah sebagai “mediator”.

Dari makna ayat di atas, memberikan pemahaman akan pentingnya peran hakam (mediator) dalam ikut membantu menyelesaikan sengketa/perselisihan yang terjadi antara suami isteri. Sebab bukan tidak mungkin, dengan bantuan hakam sebagai mediator dalam masalah tersebut para pihak akan lebih terbuka untuk membicarakan persoalan yang sebenarnya dengan tanpa adanya tekanan, baik secara fisik maupun psikologis, karena hanya berhadapan dengan mediator yang ia yakin dapat membantunya. Dan situasi seperti ini sangatlah berbeda jika dilakukan di depan orang banyak, dimana tidak menutup kemungkinan masing-masing pihak merasa tidak ingin dikalahkan, dengan saling mengedepankan dan mempertahankan egoisme.

Dan apabila ditelusuri lebih dalam, ada kalanya para pihak yang berselisih tersebut (suami isteri), salah satu diantara keduanya atau mungkin pula dua-duanya, dalam hati kecilnya masih menginginkan untuk kembali seperti biasa, namun kadang kendalanya, disamping faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, mereka tidak mengetahui serta tidak mampu untuk memulainya.

Inilah mungkin salah satu hikmah diperintahkannya oleh Allah swt., untuk mengutus hakam selaku mediator dalam ikut menyelesaikan perselisihan antara suami isteri, yang sekaligus memperlihatkan kepada kita begitu penting dan mulianya peranan serta tugas dari hakam (mediator) tersebut dalam berusaha mendamaikan keduanya.

Peranan hakam selaku mediator yang cukup besar, dapat juga dilihat dalam penjelasan pasal 76 ayat (2) UU No. 7/1989, dimana pengangkatan hakam dalam perkara perceraian atas dasar syiqaq, dilakukan sesudah proses pemeriksaan saksi serta alat-alat bukti yang diajukan para pihak. Setelah Pengadilan atau hakim mendapat gambaran secara seksama apa dan bagaimana perselisihan serta persengketaan suami isteri dan faktor yang mempengaruhinya, dan berpendapat bahwa ada kemungkinan bisa didamaikan melalui hakam yang dekat dan berpengaruh kepada suami isteri. Hemat penulis peranan hakam selaku mediator sangat berguna dalam ikut membantu, memberikan masukan serta pertimbangan pada pengadilan atau hakim guna memutus dan menyelesaikan perselisihan yang terjadi.

2. Kewenangan Hakam Selaku Mediator Dalam Menyelesaikan Perselisihan Perkawinan

Yang dimaksud dengan kewenangan hakam selaku mediator dalam menyelesaikan sengketa perceraian atas dasar syiqaq, tidak lain adalah kewenangan hakam untuk menjatuhkan putusan. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam kerangka teori sebelumnya, bahwa pendapat hakam tidak mengikat hakim dalam menjatuhkan putusan. Undang-undang dalam hal ini juga tidak memberikan kewenangan bagi hakam untuk menjatuhkan putusan.

Hakam yang diatur dalam pasal 76 ayat (2) lebih dititikberatkan pada kewajiban dari pada kewenangan. Hakam wajib berusaha untuk mencari upaya penyelesaian, tapi tidak berwenang memutus dan menyelesaikan sendiri perselisihan perselisihan suami isteri. Sesuai fungsinya dan peranannya, hukum memberikan kepada hakam hak mengusulkan atau mengajukan pendapat kepada hakim yang mengangkatnya, dan tidak mengikat bagi hakim. Dalam hal ini tampaknya undang-undang memberikan kebebasan yang sepenuhnya kepada hakim untuk menilai usulan dari hakam.

Memang mengenai hal ini terdapat dua pendapat, dimana ada yang berpendapat bahwa hakam tidak mutlak mempunyai wewenang mengambil putusan. Namun ada juga pendapat berpendirian, bahwa hakam berwenang mengambil putusan, dan putusan yang dijatuhkan hakam, mengikat kepada suami isteri.

Namun di luar dari itu semua, dan dengan tidak bermaksud untuk menafikan pendapat yang ada, penulis memandang bahwa meskipun pada prinsipnya (sesuai aturan) usul hakam tidak mengikat, tetapi kalau usul yang diajukan tersebut didukung oleh alasan-alasan yang logis dan masuk akal, kurang bijaksana rasanya apabila hakim mengabaikannya, sekurang-kurangnya usulan pendapat hakam harus diperhatikan hakim dalam mengambil putusan.

Dan penulis yakin, bahwa dengan acuan-acuan penerapan yang ada, hakim tidak akan membabi buta dan menelan begitu saja pendapat dan usul hakam. Apalagi bertitik tolak dari asumsi tentang adanya kemungkinan hakam yang ceroboh dalam mengambil kesimpulan mengusulkan perdamaian sekalipun tidak didukung oleh dasar alasan yang benar, dengan sendirinya kurang dapat dipertanggung jawabkan rasanya apabila hakim tutup mata dalam menerima usul tersebut begitu saja.

Penutup

Sebagai kesimpulan bahwa peranan hakam sebagai mediator dalam penyelesaian sengketa perceraian atas dasar syiqaq, sangatlah bermanfaat dan berarti dalam memberi masukan pada hakim guna ikut menyelesaiakan perselisihan yang terjadi.

Kewenangan hakam selaku mediator dalam penyelesaian sengketa perceraian hanya sebatas memberikan usulan pendapat dan pertimbangan dari hasil yang telah dilakukan, kepada hakim. Dan Undang-undang tidak memberikan kewenangan kepadanya untuk menjatuhkan putusan.

Read More/Selengkapnya....

Studi Perbandingan Metode Penemuan Hukum Konvensional & Islam

by. Muliadi Nur

Pendahuluan

Salah satu fungsi dari hukum ialah sebagai alat untuk melindungi kepentingan manusia atau sebagai perlindungan kepentingan manusia. Upaya yang semestinya dilakukan guna melindungi kepentingan manusia ialah hukum harus dilaksanakan secara layak. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara damai, normal tetapi dapat terjadi pula karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar tersebut haruslah ditegakkan, dan diharapkan dalam penegakan hukum inilah hukum tersebut menjadikan kenyataan.

Dalam hal penegakan hukum tersebut, setiap orang selalu mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadinya peristiwa kongkrit, dengan kata lain bahwa peristiwa tersebut tidak boleh menyimpang dan harus ditetapkan sesuai dengan hukum yang ada (berlaku), yang pada akhirnya nanti kepastian hukum dapat diwujudkan. Namun perlu diingat bahwa dalam penegakan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan guna mewujudkan hakikat dari fungsi dan tujuan itu sendiri, yaitu: kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtgkeit).

Tanpa kepastian hukum orang tidak mengetahui apa yang harus diperbuat yang pada akhirnya akan menimbulkan keresahan. Akan tetapi terlalu menitik beratkan pada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati peraturan hukum akibatnya jug akan kaku serta tidak menutup kemungkinan akan dapat menimbulkan rasa ketidak adilan. Apapun yang terjadi peraturannya adalah demikian dan harus ditaati dan dilaksanakan. Dan kadang undang-undang itu sering terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat (lex dura sed tamen scripta).

Berbicara tentang hukum pada umumnya, kita (masyarakat) hanya melihat kepada peraturan hukum dalam arti kaedah atau peraturan perundang-undangan, terutama bagi para praktisi. Sedang kita sadar bahwa undang-undang itu tidaklah sempurna, undang-undang tidaklah mungkin dapat mengatur segala kegiatan kehidupan manusia secara tuntas. Ada kalanya undang-undang itu tidak lengkap atau ada kalanya undang-undang tersebut tidak jelas. Tidak hanya itu, dalam Al-Qur’an sendiri yang merupakan rujukan kita (umat Islam) dalam menentukan hukum akan suatu peristiwa yang terjadi, ada kalanya masih memerlukan suatu penafsiran (interpretasi), pada masalah-masalah yang dianggap kurang jelas dan dimungkinkan (terbuka) atasnya untuk dilakukan suatu penafsiran.

Dalam hal terjadinya pelanggaran undang-undang, penegak hukum (hakim) harus melaksanakan atau menegakkan undang-undang. Hakim tidak dapat dan tidak boleh menangguhkan atau menolak menjatuhkan putusan dengan alasan karena hukumnya tidak lengkap atau tidak jelas. Hakim dilarang menolak menjatuhkan putusan dengan dalih tidak sempurnanya undang-undang. Olehnya, karena undang-undang yang mengatur akan peristiwa kongkrit tidak lengkap ataupun tidak jelas, maka dalam hal ini penegak hukum (hakim) haruslah mencari, menggali dan mengkaji hukumnya, hakim harus menemukan hukumnya dengan jalan melakukan penemuan hukum (rechtsvinding).


Penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa hukum yang kongkrit. Hal ini merupakan proses kongkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa kongkrit. Sementara orang lebih suka menggunakan istilah “pembentukan hukum” dari pada “penemuan hukum” oleh karena istilah penemuan hukum memberi sugesti seakan-akan hukumnya sudah ada.

Dalam penemuan hukum terdapat beberapa aliran serta metode-metode penemuan hukum, namun dalam tulisan ini penulis tidak akan membahas secara mendalam tentang aliran-aliran (mazhab) dalam penemuan hukum, melainkan hanya ingin mencoba menyajikan suatu kajian secara sederhana yang bersifat deskriptif komparatif terhadap metode-metode penemuan hukum menurut hukum barat dan hukum Islam.

A. Makna Penemuan Hukum

1. Istilah Penemuan Hukum
Istilah “penemuan hukum” oleh beberapa pakar sering dipermasalahkan, bahwa apakah tidak lebih tepat istilah “pelaksanaan hukum”, “penerapan hukum”, “pembentukan hukum” atau “penciptaan hukum”. Istilah “pelaksanaan hukum” dapat berarti menjalankan hukum tanpa sengketa atau pelanggaran. Namun disamping itu pelaksanaan hukum dapat pula terjadi kalau ada sengketa, yaitu yang dilaksanakan oleh hakim dan hal ini sekaligus pula merupakan penegakan hukum. Adapun istilah “penerapan hukum” tidak lain berarti menerapkan (peraturan) hukum yang abstrak sifatnya pada peristiwanya. Dan istilah “pembentukan hukum” adalah merumuskan peraturan-peraturan yang berlaku umum, bagi setiap orang.

Sedangkan istilah “penciptaan hukum” terasa kurang tepat karena memberikan kesan bahwa hukumnya itu sama sekali tidak ada, kemudian diciptakan (dari tidak ada menjadi ada). Hukum bukanlah selalu berupa kaedah baik tertulis maupun tidak, tetapi dapat juga berupa perilaku atau peristiwa, dan di dalam perilaku itulah terdapat hukumnya yang harus digali serta ditemukan. Dengan demikian, maka kiranya istilah “penemuan hukum”lah yang rasanya lebih tepat untuk digunakan.

Pada dasarnya setiap orang melakukan penemuan hukum. Oleh karena setiap orang selalu berhubungan dengan orang lain (melakukan interaksi), hubungan mana diatur oleh hukum dan setiap orang akan berusaha menemukan hukumnya untuk dirinya sendiri, yaitu kewajiban dan wewenang apakah yang dibebaskan oleh hukum padanya.

Penemuan hukum terutama dilakukan oleh hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara, penemuan hukum oleh hakim ini dianggap yang mempunyai wibawa. Ilmuan hukumpun dapat mengadakan penemuan hukum, namun hasil dari penemuan hukum oleh ilmuan tersebut bukanlah hukum melainkan ilmu atau doktrin. Walau demikian, sekalipun yang dihasilkan tersebut bukan hukum, akan tetapi dalam hal ini tetap digunakan istilah penemuan hukum juga, oleh karena doktrin tersebut apabila diikuti atau diambil alih oleh hakim dalam putusannya, maka secara otomatis hal itu (ilmu or doktrin) menjadi hukum.

2. Batasan Penemuan Hukum
Apa yang dimaksud dengan penemuan hukum lazimnya adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau aparat hukum lainnya yang diberi tugas untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum kongkrit. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa penemuan hukum adalah suatu proses kongkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa kongkrit (das sein) tertentu.

3. Sumber Penemuan Hukum
Sumber penemuan hukum tidak lain yang dimaksud adalah sumber atau tempat, terutama bagi hakim dalam menemukan hukumnya. Sumber utama penemuan hukum menurut Sudikno Mertokusumo (1996:48), adalah peraturan perundang-undangan, kemudian hukum kebiasaan (‘urf), yurisprudensi, perjanjian internasional dan doktrin. Jadi menurutnya terdapat tingkatan-tingkatan, hierarki atau kewedaan dalam sumber hukum.

Dalam ajaran penemuan hukum “undang-undang” diprioritaskan atau didahulukan dari sumber-sumber hukum lainnya. Kalau hendak mencari hukumnya, arti dari sebuah kata maka terlebih dahulu dicari dalam undang-undang, karena undang-undang bersifat otentik dan berbentuk tertulis, yang lebih menjamin kepastian hukum. Undang-undang merupakan sumber hukum yang penting dan utama, namun senantiasa perlu pula diingat bahwa undang-undang dan hukum tidaklah identik.

Apabila dalam peraturan perundang-undangan tidak terdapat ketentuannya atau jawabannya, maka barulah mencari dalam hukum kebiasaan (yang tidak tertulis). Hukum kebiasaan pada umumnya melengkapi (pelengkap) undang-undang dan tidak dapat mengesampingkan undang-undang. Akan tetapi dalam keadaan tertentu hukum kebiasaan dapat saja mengalahkan undang-undang: hukum kebiasaan mengalahkan undang-undang yang bersifat pelengkap. Dan kalau hukum kebiasaan ternyata tidak memberi jawaban, maka dicarilah dalam “yurisprudensi”, yang berarti setiap putusan hakim, dapat pula berarti kumpulan putusan hakim yang disusun secara sistematis dari tingkat peradilan pertama sampai pada tingkat kasasi. Dan kadang pula yurisprudensi diartikan pandangan atau pendapat para ahli yang dianut oleh hakim dan dituangkan dalam putusannya.

Seperti halnya sumber hukum dalam hal penemuan hukum menurut hukum konvensional, maka dalam hukum Islam juga terdapat urutan atau hierarki tersendiri dalam hal penemuan hukum yaitu Al-Qur’an, Sunnah (hadits nabi) dan Ijma.

B. Metode Penemuan Hukum Konvensional

Penemuan hukum adalah merupakan kegiatan terutama dari hakim dalam melaksanakan undang-undang bila terjadi peristiwa konkrit, dimana dalam kegiatan tersebut (penemuan hukum) dibutuhkan adanya suatu metode (langkah) yang nantinya dapat dipergunakan oleh penegak hukum (hakim) dalam memberikan keputusan terhadap suatu peristiwa hukum yang terjadi, yang dipahami bahwa aturan hukum (UU) dalam peristiwa tersebut tidak jelas atau bahkan belum diatur sama sekali.
Salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu adalah melalui interpretasi atau penafsiran. Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa yang konkrit. Metode interpretasi ini adalah sarana atau alat untuk mengetahui makna undang-undang. Pembenarannya terletak pada kegunaannya untuk melaksanakan ketentuan yang konkrit dan bukan untuk kepentingan metode itu sendiri.

1. Interpretasi Menurut Bahasa (Gramatikal)
Metode interpretasi gramatikal merupakan cara penafsiran atau penjelasan yang paling sederhana untukmengetahui makna ketentuan undang-undang dengan menguraikannya menurut bahasa, susunan kata atau bunyinya. Interpretasi menurut bahasa ini selangkah lebih jauh sedikit dari hanya sekedar membaca undang-undang. Di sini arti atau makna ketentuan undang-undang dijelaskan menurut bahasa sehari-hari yang umum. Metode interpretasi ini biasa juga disebut dengan metode obyektif.

2. Interpretasi Teleologis atau Sosiologis
Metode interpretasi ini biasa digunakan apabila makna undang-undang itu ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Dengan interpretasi teleologis ini undang-undang yang masih berlaku tetapi sudah usang atau sudah tidak sesuai lagi, diterapkan terhadap peristiwa, hubungan, kebutuhan dan kepentingan masa kini, tidak perduli apakah hal ini semuanya pada waktu diundangkannya undang-undang tersebut dikenal atau tidak. Di sini peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru. Ketentuan undang-undang yang tidak sesuai lagi dilihat sebagai alat untuk memecahkan atau menyelesaikan sengketa dalam kehidupan bersama waktu sekarang. Interpretasi teleologis ini biasa juga disebut dengan interpretasi sosiologis, metode ini baru digunakan apabila kata-kata dalam undang-undang dapat ditafsirkan dengan pelbagai cara.

3. Interpretasi Sistematis
Terjadinya suatu undang-undang selalu berkaitan dan berhubungan dengan peraturan perundang-undangan lain, dan tidak ada undang-undang yang berdiri sendiri lepas sama sekali dari keseluruhan perundang-undangan. Setiap undang-undang merupakan bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan. Metode interpretasi sistematis ini adalah merupakan metode yang menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan dengan jalan menghubungkannya dengan undang-undang lain, metode ini biasa pula disebut dengan interpretasi logis.

4. Interpretasi Historis
Salah satu cara untuk mengetahui makna undang-undang dapat pula dijelaskan atau ditafsirkan dengan meneliti sejarah terjadinya. Penafsiran ini dikenal sebagai interpretasi historis, dengan kata lain penafsiran ini merupakan penjelasan menurut terjadinya undang-undang.
Terdapat dua macam interpretasi historis, yaitu penafsiran menurut sejarah undang-undang dan penafsiran menurut sejarah hukum. Dengan penafsiran menurut sejarah undang-undang, hendak dicari maksud ketentuan undang-undang seperti yang dilihat oleh pembentuk undang-undang pada waktu pembentukannya.

C. Metode Penemuan Hukum Islam

Metode penemuan hukum (ijtihad) yang dimaksudkan dalam sub ini adalah “thariqah”, yaitu jalan atau cara yang harus dilakukan oleh seorang mujtahid dalam memahami, menemukan dan merumuskan hukum syara’. Penemuan hukum dalam hukum Islam (ijtihad), pada dasarnya adalah usaha memahami, menemukan dan merumuskan hukum syara’. Bagi hukum yang jelas terdapat nash, usaha yang dilakukan oleh penemu hukum (mujtahid) adalah memahami nash yang berisi hukum itu dan merumuskannya dalam bentuk rumusan hukum yang mudah dilaksanakan secara operasional. Bagi hukum yang tidak tersurat secara jelas dalam nash, kerja ijtihad adalah mencari apa yang terdapat dibalik nash tersebut, kemudian merumuskannya dalam bentuk hukum. Sedang bagi hukum yang sama sekali tidak ditemukan petunjuknya dalam nash, tetapi mujtahid menyadari bahwa hukum Allah pasti ada, maka kerja ijtihad adalah menggali sampai menemukan hukum Allah, kemudian merumuskannya dalam rumusan hukum yang operasional.

Dalam hal menemukan hukum dan menetapkan hukum di luar apa yang dijelaskan dalam nash Al-Quran dan Hadits, para ahli mengerahkan segala kemampuan nalarnya, mereka merumuskan cara atau metode yang mereka gunakan dalam menemukan hukum. Ada beberapa metode yang lahir dari hasil rumusan, diantaranya ada metode yang merupakan ciri khas (hasil temuan) seorang mujtahid yang berbeda (dan tidak digunakan oleh) mujtahid lainnya. Adanya perbedaan metode ini berimplikasi pada munculnya perbedaan antara hasil ijtihad seorang mujtahid dengan yang lainnya. Perbedaan metode tersebut ditentukan oleh jenis petunjuk dan bentuk pertimbangan yang dipakai oleh masing-masing mujtahid dalam berijtihad.

Meskipun ada beberapa metode ijtihad dalam menetapkan hukum, namun tidak semua metode itu disepakati penggunanannya. Dalam bahasan ini akan dikemukakan beberapa cara atau metode :

1. Qiyas
Secara bahasa qiyas berarti ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan atau menyamakan sesuatu dengan yang lain. Sedang pengertian qiyas secara terminologi terdapat beberapa defenisi, yang walaupun redaksi berbeda tapi mengandung pengertian yang sama. Diantaranya, yang dikemukakan Sadr al-Syari’ah, bahwa qiyas adalah memberlakukan hukum asal kepada hukum furu’ disebabkan kesatuan ‘illat yang tidak dapat dicapai melalui pendekatan bahasa saja.

2. Istihsan
Istihsan termasuk salah satu metode penemuan hukum (ijtihad) yang diperselisihkan oleh para ulama, meskipun dalam kenyataannya, semua ulama menggunakannya secara praktis.
Secara etimologi istihsan berarti menyatakan dan meyakini baiknya sesuatu. Tidak terdapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqhi dalam mempergunakan lafal istihsan dalam pengertian etimologi. Sedang secara terminologi Imam Malik sebagaimana dinukilkan oleh Imam Syathibi mendefenisikan istihsan dengan: memberlakukan kemaslahatan juz’i ketika berhadapan dengan dengan kaidah umum, yang hakikatnya bahwa mendahulukan mashlahah al-mursalah dari qiyas.

3. Mashlahah al-mursalah
Secara etimologi mashlahah sama dengan manfaat, baik dari segi lafal maupun makna. Mashlahah juga berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat. Secara terminologi, Imam Ghazali mengemukakan bahwa pada prinsipnya mashlahah adalah mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’. Imam al-Ghazali memandang bahwa suatu kemaslahatan harus sejalan dengan tujuan syara’ (agama, jiwa, akal, keturunan dan harta), sekalipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia, karena kemashlahatan manusia tidak selamanya didasarkan kepada kehendak syara’, tetapi sering didasarkan kehendak hawa nafsu.

4. Istishhab
Secara etimologi, istishhab berarti “minta bersahabat” atau “membandingkan sesuatu dan mendekatkannya”. Secara terminologi terdapat beberapa metode istishhab, Imam al-Ghazali mendefenisikan istishhab dengan : berpegang pada dalil akal atau syara’, bukan didasarkan karena tidak mengetahui adanya dalil, tetapi setelah dilakukan pembahasan dan penelitian cermat, diketahui tidak ada dalil yang mengubah hukum yang telah ada. Ibn Hazm mendefenisikan istishhab dengan berlakunya hukum asal yang ditetapkan berdasarkan nash (ayat atau hadits) sampai ada dalil lain yang menunjukkan perubahan hukum tersebut. Kedua defenisi ini, pada dasarnya mengandung pengertian bahwa hukum yang sudah ada pada masa lampau tetap berlaku untuk zaman sekarang dan yang akan datang selama tidak ada dalil lain yang mengubah hukum itu.

5. ‘Urf
Secara etimologi ‘urf berarti “yang baik”. Sedang ‘urf menurut ulama ushul fiqhi adalah kebiasaan mayoritas kaum baik dalam perkataan atau perbuatan. Berdasarkan defenisi tersebut, Mushthafa Ahmad al-Zarqa mengatakan bahwa ‘urf merupakan bagian dari adat, karena adat lebih umum dari ‘urf. Suatu ‘urf menurutnya harus berlaku pada kebanyakan orang di daerah tertentu, bukan pada pribadi atau kelompok tertentu.

6. Mazhab Shahabi
Mazhab shahabi berarti pendapat para sahabat rasulullah saw, yang dimaksud pendapat sahabat adalah pendapat para sahabat tentang suatu kasus yang dinukilkan para ulama, baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum, sedangkan ayat atau hadits tidak menjelaskan hukum terhadap kasus yang dihadapi sahabat tersebut. Disamping belum adanya ijma para sahabat yang menetapkan hukum tersebut. Persoalan yang dibahas para ulama ushul fiqhi adalah apabila pendapat para sahabat itu diriwayatkan dengan jalur yang shahih, apakah wajib diterima, diamalkan dan dijadikan dalil ?.

D. Perbandingan Metode Penemuan Hukum Konvensional dan Hukum Islam

Pada dasarnya metode penemuan hukum, apabila dilihat dari segi metode yang digunakan, baik dalam hukum konvensional maupun dalam hukum Islam terdapat beberapa persamaan, diantara metode yang terdapat dalam hukum konvensional juga terdapat dalam hukum Islam, namun juga ada yang berbeda, dan begitupun sebaliknya, bahkan penulis melihat adanya kemungkinan untuk dikombinasikan (saling melengkapi). Namun apabila dilihat dari sudut sumber hukum dalam metode penemuan hukum tersebut terdapat perbedaan yang sangat prinsipil, dimana sumber hukum dalam metode penemuan hukum Islam bersumber dari Al-Qur’an dan hadits, sedang sumber hukum metode penemuan hukum konvensional adalah UU, kebiasaan, dll, yang nota bene adalah hasil karya (produk) manusia.

Read More/Selengkapnya....