Selasa, 15 Januari 2008

Perkawinan beda Agama ...

Catatan ringan dari sebuah diskusi Kecil...

Perkawinan beda agama termasuk masalah rumah tangga yang banyak mengandung persoalan-persoalan sosial dan yuridis, baik ditinjau dari segi kaca mata hukum Islam maupun menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

Hal ini memang menimbulkan berbagai persoalan, masalah yang dapat saja ditimbulkan dari perkawinan beda agama tersebut. Sebab dalam aturan hukum (Undang-undang) yang berlaku, tidak mengatur secara jelas tentang prosedur pelaksanaan perkawinan antar agama. Sedang negara kita adalah negara hukum, yang secara formalistis berpegang pada aturan hukum yang ada (positif) dalam melihat suatu permasalahan. Namun dalam kenyataan yang berkembang dalam masyarakat, hal ini (perkawinan beda agama) banyak terjadi.

Apabila kita mencari sebab dari timbulnya hal seperti ini di masyarakat, apakah dengan mengadakan suatu penelitian kecil, maka kita akan menemukan berbagai macam faktor penyebab yang mereka jadikan landasan dalam melakukan perkawinan tersebut. Dalam hal ini, hal yang mendasar bukan karena mereka tidak mengetahui aturan yang ada dan yang berlaku (UU ataupun hukum dari agamanya masing-masing), namun kebanyakan disebabkan oleh rasa cinta dari keduanya dan tidak ingin dipisahkan lagi oleh siapun, apakah itu keluarga dari kedua belah pihak, bahkan oleh aturan sekalipun, yang mereka inginkan hanyalah bagaimana agar tali kasih yang telah mereka pupuk, bina dapat dilanjutkan pada jenjang perkawinan, yang mungkin telah menjadi komitmen bersama dari kedua pasangan tersebut.

Inilah mungkin salah satu kendala yang dihadapi bagi mereka yang ingin melakukan perkawinan, namun terbentur (pada aturan yang ada) yaitu oleh persoalan pada perbedaan agama yang dianut dari mereka yang akan melangsungkan perkawinan tersebut. Di mana dalam perkembangan terakhir, jalan bagi pemeluk agama Islam dalam melaksanakan perkawinan semacam ini telah ditutup sama sekali, namun kita juga tidak dapat menutup mata bahwa hal-hal seperti ini masih saja dapat kita temui di masyarakat, nah yang menjadi pertanyaan bagaimana kita menaggapi hal tersebut.

Sesuai kesepakatan dari diskusi yang berkembang, tetap kita sepakat dan tetap berlandaskan pada aturan yang ada (UU yang mengatur) bahwa tidak terdapat landasan hukum yang jelas yang mengatur tentang prosedur pelaksanaan perkawinan antara beda agama, namun di satu sisi (dalam praktek) baik yang terjadi di tengah masyarakat serta diperkuat lagi oleh ketetapan-ketetapan dari Mahkamah Agung yang kelihatan berseberangan arah dari aturan normatif yang berlaku, itu tidak dapat kita tolak.

Olehnya dapat ditarik suatu simpulan sementara dari hasil diskusi yang berkembang dengan tetap berlandaskan pada aturan yang ada serta memperhatikan pada kasus-kasus yang telah terjadi dan ketetapan-ketetapan dari MA di atas, tentang cara-cara (prosedur) pelaksanaan perkawinan antar agama yaitu :
a. Salah satu pihak beralih agama mengikuti agama suami atau isteri
b. Salah satu pihak menundukkan diri pada hukum agama suami atau isteri
c. Perkawinan hanya dilangsungkan di Kantor Catatan Sipil

Adapun komentar sementara dari penulis dalam hal ini lebih condong apabila masalah perkawinan terkhsus lagi pada perkawinan antar beda agama ini dikembalikan pada hukum agama masing-masing, sebab dari segi praktis Undang-undang perkawinan sendiri pada satu sisi mengakui eksistensi hukum agama sebagai dasar untuk menentukan keabsahan suatu perkawinan, walaupun sebagaimana yang kita ketahui terdapat agama yang melarang (sangat tegas menolak) perkawinan antara agama ini. Hal ini memang merupakan masalah “khilafiah” yang sulit diakhiri.

Tidak ada komentar: